Generasi Rabbani

IMSF 8 : Generasi Rabbani Bukan Sekedar Shalih

Posted on Updated on

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Banyak pendidik memancangkan tekad mencetak generasi Rabbani. Tetapi apakah rabbani itu atau rabbaniyun (bentuk jamaknya)? Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya (ilmu agama). Jadi, tak sekedar berilmu.

Menurut Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, rabbaniyun adalah sosok yang memberikan santapan ruhani bagi manusia dengan ilmu (agama) dan didik mereka atas dasar ilmu. Maka, tidak setiap yang memberi santapan ruhani dapat disebut seorang rabbani. Ia harus memiliki ilmu agama yang kuat dan memberi santapan ruhani dengan ilmunya. Ia juga mendidik manusia dengan ilmu agama. Seseorang yang hanya “memberi santapan ruhani” sementara ia sebenarnya tidak memiliki ilmu yang memadai, sesungguhnya ia hanyalah golongan khuthaba’ (para penceramah). Dan akan tiba suatu masa ketika banyak penceramahnya, tetapi ulama semakin sedikit.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya kalian hidup di zaman yang fuqahanya (ulama) banyak dan penceramahnya sedikit, sedikit yang minta-minta dan banyak yang memberi, beramal pada waktu itu lebih baik dari berilmu. Dan akan datang suatu zaman yang ulamanya sedikit dan penceramahnya banyak, peminta-minta banyak dan yang memberi sedikit, berilmu pada waktu itu lebih baik dari beramal.” (HR. Ath-Thabarani).

Dari berbagai pendapat para ulama, dapat disarikan 3 aspek penting sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang rabbani. Tiga aspek itu apa saja? Ia berilmu, mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Salah satunya tidak ada, ia bukanlah seorang rabbani. Maka mencetak generasi rabbani berarti mempersiapkan anak untuk sungguh-sungguh mengilmui agama, bersemangat mengamalkan dan mengajarkan. Ia harus mencintai ilmu sehingga dengannya senantiasa muncul dalam dirinya keinginan untuk menambah ilmu, bahkan di sela-sela kesibukannya mengajarkan ilmu. Seseorang yang menghabiskan umurnya untuk mengajar dimana-mana, apalagi sekedar ceramah, tetapi dirinya enggan belajar maka tidak mungkin termasuk golongan rabbaniyun.

Sekolah yang mencanangkan diri untuk mencetak generasi rabbani berarti harus membangkitkan militansi anak untuk mengajarkan agama tanpa menunggu adanya undangan. Shalih saja tidak cukup, betapa pun shalih merupakan keutamaan yang sangat mulia. Harus ada pada dirinya kehendak kuat untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Mengajarkan agama bukan berarti ia berprofesi menjadi guru agama. Lebih dari itu, ia senantiasa berkeinginan dan bersemangat mengajarkan agama kepada orang lain. Ia tergugah untuk menunjukkan kepada manusia jalan keselamatan ini dan membawa mereka memahami dengan baik serta mengamalkannya dengan sungguh-sungguh.

Tanpa mengilmui, mengamalkan dan kehendak kuat penuh semangat untuk mengajarkan agama kepada orang lain, tidak dapat disebut rabbani. Tidak peduli apa profesinya nanti, mengajarkan agama menjadi bagian dari kehidupannya. Ia berusaha mengajarkan agama yang lurus, betapa pun bidang pekerjaannya tidak langsung dengan ilmu agama. Bukankah dakwah seharusnya merupakan fardhu kifayah yang memanggil kita untuk menjalaninya? Ia bukan profesi. Ia lekat pada diri ini. Ia panggilan jiwa.

Seorang rabbani bersemangat menambah ilmu bagi dirinya, mengamalkan dan berusaha mengajarkannya kepada orang lain agar mengilmui Islam. Nah, sudahkah sekolah yang mencanangkan untuk mencetak generasi rabbani menyiapkan hal ini? Ataukah hanya membiasakan anak beribadah?

Jangan keliru. Ibadah amat sangat penting. Tapi tanpa bersemangat mengajarkan kepada orang lain, ia bukanlah seorang rabbani. Tak setiap ‘abid (ahli ‘ibadah) adalah seorang rabbani. Apalagi jika sekolah mengajarkan anak-anak bersemangat ‘ibadah maupun belajar agama hanya untuk mengejar dunia, mendapatkan keajaiban-keajaiban jalan pintas dan bukannya menyiapkan anak-anak agar tak ambruk kegigihannya belajar hanya karena sedikit kesulitan. Ia justru siap berkeringat berpenat-penat agar memperoleh barakah dari sisi Allah Ta’ala. Bukankah besarnya pahala antara lain ditentukan oleh besarnya kepayahan kita dalam memperjuangkan?

Lalu apa yang harus kita tanamkan kepada anak?

Pertama, mengimani Allah Ta’ala. Sesungguhnya mengimani sangat berbeda dengan memahami ilmu agama. Seseorang yang memahami, meskipun itu tentang iman, belum tentu mengimani sepenuh hati. Iman dan pemahaman merupakan dua hal yang sangat berbeda. Pemahaman berada pada ranah kognitif. Seseorang yang memahami tidak dengan sendirinya meyakini. Padahal yakin hanyalah bagian kecil dari iman. Sebaliknya, keimanan memerlukan ilmu.

Berawal dari mengimani Allah Ta’ala sebagai satu-satunya yang berhak disembah dan tidak ada satu pun yang layak untuk disembah selain Allah Ta’ala, memudahkan kita menanamkan iman kepada bagian-bagian penting iman lainnya yang masuk ke dalam rukun iman, maupun cabang-cabang iman.

Kedua, dorongan untuk mencintai ilmu dan menanamkan kepada anak kemuliaan orang-orang yang berilmu dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Kita dapat menunjukkan kepada anak bagaimana para ulama terdahulu dari kalangan salafush shalih bahkan merelakan hartanya demi meraih ilmu. Mereka tetap gigih belajar, meskipun sudah menjadi orang yang sangat berilmu, bahkan hingga akhir hayat. Kita gugah juga anak dengan menunjukkan bagaimana kesungguhan para salafush-shalih yang rela berpayah-payah untuk memetik ilmu.

Ketiga, senantiasa menggugahbukan hanya menjelaskan kepada anakagar berusaha mengamalkan ilmunya serta mengajarkannya kepada orang lain. Setiap kali ada kawan yang tidak tahu, maka ada ladang amal shalih di sana. Setiap kali ada orang yang lebih berilmu, maka ada kesempatan untuk meraup ilmu yang lebih besar. Dan tidak bernilai ilmu kecuali yang tegak di atas tuntunan agama ini.

Sekiranya keinginan kuat untuk senantiasa menambah ilmu, mengamalkan dan mengajarkannya kepada orang lain benar-benar hidup pada diri anak-anak kita, niscaya akan sangat memudahkan para guru mengajar di kelas. Bagusnya iklim kelas yang ditandai besarnya semangat untuk belajar dan saling mendukung teman-teman sekelasnya meraih kemajuan, berbahagia dengan keberhasilan teman dan bersemangat sekaligus berempati kepada yang lemah di antara teman-teman sekelas justru dapat diraih dari usaha menjadikan mereka generasi rabbani. Ini memang bukan tentang membangun iklim kelas, tetapi ia menjadi buah yang manis meskipun tidak dimaksudkan untuk itu. Tidak perlu terjadi situasi ketika anak meremehkan temannya, mentertawakan kawan yang sedang tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik maupun sikap buruk lainnya yang merusak iklim kelas. Sekali lagi, ini terjadi justru bukan karena sedang membangun iklim kelas. Tetapi jika anak-anak di kelas terdorong kuat untuk senantiasa menambah ilmu, mengamalkan dan mengajarkan maka akan tumbuh iklim sekaligus budaya belajar yang kuat. Wallahu a’lam bish-shawab.